• BERANDA
  • TULISAN
    • INDONESIA
    • KEMILITERAN
    • NUSANTARA
    • PUSTAKA
  • TENTANG KAMI
  • KONTAK
          • BERANDA
          • TULISAN
            • INDONESIA
            • KEMILITERAN
            • NUSANTARA
            • PUSTAKA
          • TENTANG KAMI
          • KONTAK KAMI
          • LINI MASSA
            • INSTAGRAM
            • YOUTUBE
            • SPOTIFY
          • BERANDA
          • TULISAN
            • INDONESIA
            • KEMILITERAN
            • NUSANTARA
            • PUSTAKA
          • TENTANG KAMI
          • KONTAK KAMI
          • LINI MASSA
            • INSTAGRAM
            • YOUTUBE
            • SPOTIFY

          Suasana sidang di Volksraad. Sumber foto: IKS Gallery dalam www.soemodilogo.org

          Thamrin dan Bahasa Indonesia Dalam Volskraad

          Suasana sidang di Volksraad. Sumber foto: IKS Gallery dalam www.soemodilogo.org

          M.H. Thamrin, melakukan pidato yang menggunakan bahasa Indonesia baru dilakukannya pada Juli 1938. Tokoh perintis penggunaan bahasa Indonesia pertama dalam Volksraad (Dewan Rakyat) adalah Haji Agus Salim dan Jahja Datoek Kajo yang dilakukannya sejak tahun 1927.
          Akibatnya, Agus Salim ketika itu harus menuai protes dari tuan voorzitter (Ketua Dewan).

          “Saya memang pandai berpidato dalam bahasa Belanda,” kata Salim, “tapi menurut peraturan Dewan saya punya hak mengeluarkan pendapat dalam bahasa Indonesia.”

          Apa yang disampaikan Haji Agus Salim ini mengacu pada mosi yang disampaikan anggota Volksraad bumiputra pertama, Achmad Djajadiningrat dan kawan-kawannya pada 3 Desember 1918 tentang penggunaan bahasa Indonesia.

          Dalam mosi itu, Ratu Belanda memberikan ijin dengan catatan penggunaan bahasa Belanda diutamakan.

          Pada masa persidangan 1927-1928, hanya Agus Salim dan Jahja yang berbahasa Indonesia. Sedangkan pada masa 1938-1939, ada enam orang anggota Volksraadbumiputra yang menggunakan bahasa Indonesia, antara lain: Thamrin, Soeroso, Abdoel Rasjid, Soangkoepon, Wirjopranoto Iskandar Dinata, dan Datoe Toemenggoeng yang juga menggunakan bahasa Belanda.

          Pada tanggal 15 Agustus 1939, Thamrin mengajukan suatu mosi tentang “soal peristilahan” (terminologische – kwestie). Thamrin mengusulkan agar kata-kata Nederlandsch- Indie dan Inlanderdihapuskan dari surat-surat resmi dan perundang-undangan. Sebagai gantinya digunakan istilahIndonesie, Indonesier dan Indonesisch.

          Hal ini diajukan oleh Thamrin sebagai perwujudan dari tuntutan dalam Kongres Bahasa Indonesia pertama di Solo, 25-27 Juni 1938, agar Fraksi Nasional menggunakan bahasa Indonesia.

          Sementara itu, dalam pandangan Belanda, antara lain dari kalangan pers, mengatakan bahwa mosi yang diajukan oleh Thmrin itu pada dasarnya merupakan suatu ikhtiar yang baik. Hanya saja hal itu akan menimbulkan kekaburan tentang penamaan, lagi pula orang-orang yang berada di negeri Belanda tetap saja akan menyebut dengan istilah Nederlandsch-Indie.

          Alasan Fraksi Nasional menggunakan bahasa Indonesia karena semua peraturan yang berlaku umum untuk rakyat ditetapkan dalam bahasa Belanda yang tidak dimengerti rakyat, kaum bumiputra terpelajar tidak senang membaca dan menulis pada surat kabar berbahasa Indonesia, dan orang Indonesia pasti kalah dalam perdebatan dengan orang Belanda dalam bahasa Belanda.

          Pada awal pidatonya yang berjudul “Kebijaksanaan di Waktoe Krisis” dalam sidang di Volksraad tanggal 12 Juli 1938, ia mengemukakan alasan mengapa ia menggunakan Bahasa Indonesia.

          Pemakaian Bahasa Indonesia dimaksudkan untuk menghargai bahasa sendiri dan agar tidak tergerus oleh bahasa lain. Lebih lanjut ia mengingatkan: “Bukankah bangsa yang kehilangan bahasanya akan mudah kehilangan kebangsaannya?”.

          Jelas bahwa penggunaan Bahasa Indonesia di dalam Volksraad akan menimbulkan reaksi. Para pejabat Belanda memandang tindakan itu sebagai suatu “demonstrasi” yang mengandung propaganda.

          Sebagai anggota Volksraad, Thamrin bersama rekan-rekannya juga mengajukan mosi menyangkut pengadaan Pendidikan Bidang Sastra di Indonesia. Mosi yang diajukan pada tanggal 17 Agustus 1939, berisi harapan agar selambat-lambatnya pada tahun 1940, sudah dapat didirikan sebuah Fakultas Sastra. Mosi yang diajukan oleh Thamrin beserta Soeroso dan Wirjopranoto itu akhirnya diterima, dalam pemungutan suara perbandingannya adalah 29 lawan 27.

          Cahaya di Batavia

           

           

          Share

          Cari di Matapadi :

          Artikel Pilihan :

          • Peristiwa Minggu Palma, Pengalaman Buruk Brimob Batalion Teratai
          • Prayitno, Antara Kopasandha dan Brimob
          • Sniper: Membunuh dalam Kesunyian
          • Awal Kebangkitan Eropa
          • Amji Atak, dari Pahlawan Menjadi Ksatrian

          Artikel Terbaru :

          • Limbah dan Pengaburan Sejarah Aceh yang Agung
            February 25, 2021
          • Diplomat-Diplomat Kancil
            February 24, 2021
          • Klewang Dan Pertempuran Di Aceh Yang Mematikan
            February 23, 2021
          • Pengaruh dan Kemegahan Singgasana Aceh
            January 27, 2021
          • Tentara (TNI) di Antara Persimpangan Kekuasaan
            January 26, 2021

          Matapadi Pressindo

          Minggiran MJ II / 1378, RT/RW : 63/17
          Suryadiningratan, Mantrijeron, Yogyakarta 55141
          0274-388895, 0817-9407-446

          © 2021 Matapadi. All Rights Reserved.
          • Kontak Kami
          • Disclaimer
          • Privacy Policy
          • Pedoman Pemberitaan Media Siber