Orang Belanda Pertama Yang Dihukum Mati di Nusantara
- Cornelis de Houtman
Setelah dari Banda, Kepulauan Maluku, de Houtman bersaudara tiba di Aceh pada 21 Juni 1599. Mereka adalah Cornelis de Houtman sabagai laksamana dan Frederick Houtman sebagai Kapten dari kapal De Leeuw dan De Leeuwin. Mulanya mereka disambut baik. Kepada mereka diberikan kesempatan membeli lada.
Seorang nahkoda kapal Belanda berkebangsaan Inggris yang turut dalam pelayaran kedua Cornelis de Houtman, John Davis, mengungkapkan bahwa kekuatan militer Aceh di masa kepemimpinan Laksamana Keumalahayati memiliki perlengkapan armada laut yang di antaranya terdiri dari 100 buah kapal (galley) dengan kapasitas penumpang 400-500 orang. Dan, salah seorang Laksamana Laut Aceh adalah seorang wanita (Laksamana Keumalahayati -Pen).
Selanjutnya diceritakan pula bahwa Sultan mempunyai banyak meriam-meriam besar dari baja. Kekuatan pertahanan darat diperhebat pula dengan adanya barisan gajah yang dipergunakan oleh hulubalang-hulubalang. Penduduk Aceh sangat gemar berniaga. Mereka berbakat dagang, dan dalam pekerjaan itu mereka cukup berpengalaman. Juga mereka ahli-ahli pertukangan, tukang emas, tukang meriam, tukang kapal, tukang besi, tenun, tukang periuk, pot, pembikin berbagai rupa minuman.
Sultan berkesempatan menerima kedua de Houtman pada 10 September 1599. Ketika itu, menurut Frederick, turut juga hadir Sabandaer (Syahbandar) dan Corcon (Keureukun Katibu’l-muluk). Namun, tentang kedatangan de Houtman di Aceh, Bernard H.M. Vlekke menulis bahwa :
“Aceh Werd in Juni 1598 door 2 schepen uit Zeeland bezocht. De leider van dit eskader was Weet Cornelis de Houtman. Er kon dus op moeilijkheden gerekend worden. Ditmaal werd zijn onbeschaamd optreden hem zelf fataal”,
(Aceh telah didatangi oleh dua kapal dari Zeeland bulan Juni 1599. Lagi-lagi pemimpin rombongannya, Cornelis de Houtman, karenanya haruslah diperhitungkan bakal terjadi kesukaran. Sekali ini dengan tindakannya yang tak tahu malu itu membikin dia celaka sendiri.)
Dalam hikayat juga diceritakan bahwa; pada awalnya, kerjasama yang terjalin ini dimanfaatkan Aceh untuk menyewa kapal-kapal Belanda yang akan digunakan untuk mengangkut pasukan ke Johor. Perjanjian sewa kapal itu ditandatangani tanggal 30 Juli 1599 dan direncanakan berangkat pada tanggal 11 September 1599.
Akan tetapi, menjelang keberangkatan pasukan Aceh ke Johor, pihak Belanda mengingkari perjanjian tersebut dan kapten kapal yang bernama J. Van. Hamskerek pun melarang pasukan Aceh naik ke atas kapal. Pihak Aceh tidak terima dengan perlakuan itu.
Sebagian pasukan Aceh yang telah berada di atas kapal pun langsung marah dan mengamuk ketika melihat Belanda menembaki beberapa pembesar Aceh yang masih berada di atas sampan termasuk kerabat sultan.
Pertempuran antara pasukan Aceh dan Belanda di laut segera dilaporkan kepada Sultan dan didengar oleh Keumalahayati, yang saat itu menjadi panglima pengawal istana. Maka, seketika itu juga Keumalahayati memerintahkan pasukannya untuk berkumpul dan mengepung kantor perwakilan dagang Belanda.
Di darat pun terjadi tembak-menembak antara orang-orang Belanda dan anak buah Keumalahayati yang menjaga istana. Dalam waktu singkat pasukan Keumalahayati berhasil membuat pasukan Belanda menyerah setelah sebagian besar tewas.
Dalam penyerangan itu, Cornelis de Houtman tewas ditangan Keumalahayati dan beberapa anak buahnya juga terbunuh. Sedangkan Federick de Houtman ditawan dan dijebloskan ke tahanan kerajaan Aceh. Oleh Sultan Aceh peristiwa ini langsung dikabarkan ke negeri Belanda.
Beberapa tahun kemudian, pada tanggal 23 Agustus 1601, tiba rombongan bangsa Belanda yang ketiga dipimpin oleh Komisaris Gerard de Roy dan Laksamana Laurens Bicker dengan empat buah kapal (Zeelandia, Middelborg, Langhe Bracke dan Sonne) di Pelabuhan Aceh. Kedatangan mereka memang telah disengaja dan berangkat atas perintah Pangeran Maurits. Kedua pimpinan rombongan mendapat perintah untuk memberikan sepucuk surat dan beberapa hadiah kepada Sultan Ala’uddin Ri’ayat Syah Saidi Mukammil.
Surat ini tertulis dalam bahasa Spanyol yang berisi penyesalan Pangeran Maurits atas kelakuan jelek orang-orang Belanda di Aceh, meminta diadakannya perbaikan hubungan antara Belanda dengan Aceh, kesediaan membayar ganti rugi untuk menebus kelakuan jelek orang Belanda sebelumnya di Aceh, dan mengantarkan berbagai hadiah. Surat tersebut berbentuk oorkonde atau piagam, dihiasi oleh ukiran tangan yang cantik dengan huruf-huruf bunganya, huruf-huruf daripada air emas, dan ditanda-tangani oleh Pangeran Maurits sendiri.
Sungguh di masa itu Belanda yang masih berusaha merdeka dari Spanyol betul-betul meminta ampun dan berusaha agar dapat membuka kedekatan kepada Aceh; dimana hal yang sama juga dilakukan oleh Ratu Elizabeth I, yang mengirimkan Sir James Lancaster sebagai delegasi Inggris ke Aceh setahun kemudian (1602).
Referensi: buku Kronik Peralihan Nusantara, Liga Raja-raja Hingga Kolonial, Aceh Sepanjang Abad. atcehcyber.net.
*artikel ini juga merupakan kelanjutan dari Belanda Pertama Yang Diusir Dari Nusantara.